Konsep ekonomi dalam Islam tidak hanya menekankan pada pertumbuhan materi, tetapi juga pada keadilan sosial dan distribusi kekayaan yang merata. Salah satu instrumen penting dalam mewujudkan tujuan ini adalah melalui sistem penerimaan negara yang mencakup berbagai bentuk kontribusi dari umat, yang seringkali disamakan dengan konsep pajak modern. Namun, penting untuk dipahami bahwa pajak dalam Islam memiliki landasan filosofis dan tujuan yang berbeda, yang berakar pada prinsip-prinsip syariat.
Inti dari kontribusi ekonomi dalam Islam adalah zakat. Zakat bukan sekadar sedekah wajib, melainkan ibadah maliyah yang memiliki makna sosial mendalam. Zakat diwajibkan atas harta tertentu yang telah mencapai nishab (batas minimum) dan haul (satu tahun kepemilikan). Penerima zakat telah ditentukan dalam Al-Qur'an, yaitu fakir, miskin, amil (petugas zakat), muallaf (orang yang baru masuk Islam), riqab (budak yang ingin memerdekakan diri), gharimin (orang yang terlilit utang), fisabilillah (orang yang berjuang di jalan Allah), dan ibnu sabil (musafir). Tujuan utama zakat adalah untuk membersihkan harta pembayar zakat, mensucikan jiwa, dan membantu mereka yang membutuhkan, sehingga kesenjangan ekonomi dapat diminimalisir.
Selain zakat yang bersifat wajib, Islam juga mendorong umatnya untuk berinfak dan bersedekah. Infak adalah mengeluarkan harta untuk kebaikan, baik dalam bentuk wajib maupun sukarela, sementara sedekah umumnya merujuk pada pemberian sukarela. Aktivitas ini sangat dianjurkan dalam Al-Qur'an dan Hadits sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah, menumbuhkan rasa empati, dan mempererat tali persaudaraan antar sesama. Perbedaannya dengan zakat terletak pada sifatnya yang tidak terikat pada nishab dan haul tertentu, serta besaran yang ditentukan oleh kemampuan individu.
Dalam konteks pemerintahan Islam di masa lalu, terdapat bentuk-bentuk kontribusi yang mirip dengan pajak modern. Salah satunya adalah kharaj, yaitu pajak atas tanah yang dibebankan kepada non-Muslim yang menggarap tanah milik negara atau yang tunduk pada pemerintahan Islam. Kharaj ini berfungsi sebagai kompensasi atas pemanfaatan sumber daya negara. Bentuk lainnya adalah 'ushr (sepersepuluh), yang dikenakan atas hasil pertanian. 'Ushr dapat dikenakan pada kaum Muslimin dan non-Muslim, dengan kadar yang berbeda tergantung jenis tanah dan agama pemiliknya.
Selain itu, ketika kas negara membutuhkan pembiayaan tambahan untuk kepentingan umum dan kemaslahatan umat, penguasa Muslim memiliki wewenang untuk menetapkan pungutan lain yang sifatnya lebih umum, yang dalam terminologi fiqh disebut sebagai dhara'ib. Namun, penetapan dhara'ib ini memiliki syarat ketat. Pertama, harus ada kebutuhan mendesak yang tidak dapat dipenuhi dari pos-pos pemasukan negara yang lain (seperti zakat dan fai' - harta rampasan perang). Kedua, pungutan tersebut tidak boleh membebani rakyat melebihi kemampuan mereka. Ketiga, harus ada musyawarah dan persetujuan dari para ulama dan tokoh masyarakat. Keempat, hasil pungutan tersebut harus benar-benar digunakan untuk kepentingan umum dan tidak untuk kemewahan penguasa atau keluarganya.
Prinsip keadilan (al-'adl) adalah landasan utama dalam setiap aspek kehidupan Muslim, termasuk dalam sistem ekonomi dan perpajakan. Dalam Islam, penetapan dan pemungutan kontribusi apa pun haruslah dilakukan secara adil, tanpa membedakan suku, ras, atau status sosial. Beban harus disesuaikan dengan kemampuan, dan setiap rupiah yang terkumpul harus dipertanggungjawabkan penggunaannya demi kemaslahatan bersama. Tanggung jawab tidak hanya berada pada pihak penguasa sebagai pemungut, tetapi juga pada rakyat sebagai pembayar untuk memastikan bahwa kontribusi mereka digunakan sebagaimana mestinya.
Oleh karena itu, meskipun istilah "pajak" mungkin baru dikenal dalam sistem modern, semangat dan tujuan dari pungutan dalam Islam adalah untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat, mendistribusikan kekayaan secara adil, dan menjaga kemaslahatan umum, sejalan dengan ajaran Al-Qur'an dan Sunnah.